Wellcome to my blog

Jumat, 24 April 2015

HASIL PENGAMATAN USAHA KREATIF LOKAL

Pengusaha Tempe Yang Sukses Dengan Ide Kreatif 

Di usia muda Muhammad Rusyad Isnadi (34) sudah mencatat kesuksesan sebagai pengusaha. Berkat tempe mentega produksinya, ia bisa mendapat keuntungan minimal Rp 400.000 per hari. Tak aneh ia tidak tertarik lagi menjadi pegawai negeri.

Isnadi, warga Dusun Wiyoro, Baturetno, Banguntapan, Bantul, memulai usahanya setelah gempa dahsyat melanda wilayah Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY) pada tahun 2006. Sebelumnya, ia malang melintang menjadi tenaga pemasaran bahan pokok ke pasar-pasar.
Bosan menjadi tenaga pemasaran yang terus bergerak ke seluruh pasar, ia ikut bekerja di tempat adiknya.
”Saya ikut membuat tempe di tempat adik karena bingung mau kerja apa,” katanya saat ditemui di tempat usahanya beberapa waktu lalu.
Setelah cukup menguasai teknik pembuat tempe kedelai, Isnadi memutuskan membangun usaha sendiri.
”Kalau lama-lama ikut di tempat adik saya, takut menjadi beban. Jadi, mending buka usaha sendiri. Keputusan itu saya ambil setelah saya yakin bisa membuat tempe sendiri,” ujarnya.
Seperti yang lazim terjadi, awal usaha adalah masa-masa tersulit. Ia harus memasarkan tempe sendiri ke pasar-pasar.
Dari setiap tiga orang yang ditawari paling hanya satu yang mau menerima titipan tempe. Meski banyak ditolak, ia tidak menyerah.
”Pengalaman bekerja sebagai tenaga pemasaran membuat saya tidak kecil hati meski ditolak banyak penjual. Yang penting jangan malu menawarkan. Ternyata prinsip saya itu membuahkan hasil,” katanya.
Selama dua tahun membuat tempe, usaha Isnadi tidak mengalami perkembangan berarti. Kondisi tersebut membuatnya penasaran.
Ia bermimpi memiliki usaha tempe yang sukses. Suatu ketika ia menceritakan kondisinya itu kepada seorang teman.
”Teman saya menyarankan agar saya mencoba mencampur tempe dengan mentega. Idenya memang konyol, tetapi akhirnya saya coba,” katanya.
Lebih gurih dan lezat
Mentega ditambahkan saat proses peragian tempe. Berkat tambahan mentega, tempe kedelai Isnadi menjadi lebih gurih dan lezat.
Respons pasar pun sangat positif. Permintaan terutama datang dari warung-warung makan di sekitar kos-kosan mahasiswa dan penjual gorengan.
Kini, setiap hari Isnadi memproduksi 6 kuintal kedelai. Dari jumlah tersebut diperoleh sekitar 2.200 potong tempe seharga Rp 3.000 per potong.
Dibandingkan dengan tempe lain, harga produksi tempe Isnadi lebih mahal. ”Kalau tempe lain paling dijual sekitar Rp 2.000 per potong. Meski lebih mahal, ternyata permintaannya justru naik terus,” katanya.
Omzet Isnadi per hari Rp 4 juta-Rp 5 juta. Dia harus mengerahkan 31 karyawannya yang sebagian besar adalah tetangga sekitar rumahnya. Penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi membuat Isnadi disenangi para tetangganya.
Untuk urusan penjualan, Isnadi memiliki 19 tenaga pemasaran. Mereka diberi kelonggaran mengambil keuntungan sampai 10 persen dari harga jual. Mereka juga menerima uang bensin Rp 2.500 per hari dan uang penggantian oli setiap bulan.
”Tingginya permintaan membuat kami kewalahan memasok ke pasar-pasar tradisional. Para tenaga pemasaran sudah memiliki pelanggan tetap, yang sebagian besar berupa rumah makan,” katanya.
Proses rumit
Menurut Isnadi, proses pembuatan tempe tergolong rumit. Pertama, kedelai harus direndam dulu baru kemudian direbus. Hasil rebusan selanjutnya digiling dengan mesin khusus agar teksturnya menjadi lembut. Setelah itu, kedelai kembali direndam selama semalam baru dicuci dan direbus lagi.
”Proses terakhir adalah pengeringan serta pemberian ragi dan mentega. Peragian menjadi proses paling sulit. Jika takaran raginya tidak pas, tempe bisa membusuk,” kata pria lulusan SMA tersebut.
Dia mengatakan, saat musim kemarau dengan terik matahari yang lumayan, pemberian ragi biasanya dikurangi karena suhu udara cukup panas. Sebaliknya saat musim hujan, ragi diperbanyak.
”Kalau sudah busuk, tempenya harus dibuang karena tidak bisa dijual lagi,”ujarnya.
Untuk membuat tempe, Isnadi menggunakan kedelai impor karena harganya lebih murah, yakni Rp 4.800 per kilogram. Kualitasnya juga lebih bagus.
”Kedelai lokal harganya berkisar Rp 5.500 per kg dan kualitasnya tidak bagus. Kedelai lokal lebih bagus kalau dibuat tahu,” katanya.
Kapasitas produksi tempe Isnadi naik-turun seiring dengan ketersediaan tenaga kerjanya. Biasanya, produksi akan turun hingga 50 persen pada saat hari raya, seperti Lebaran, karena sebagian besar perajin tempe pulang kampung. Sebagian besar dari mereka dari Pekalongan, Jawa Tengah.
”Stok tempe di pasar akan berkurang drastis karena perajin libur untuk pulang kampung. Sebenarnya saya bisa saja menambah produksi sampai 100 persen, tetapi kapasitas mesin dan tenaga yang ada tidak mencukupi,” katanya.
Berkat tempe mentega, Isnadi sudah mampu membeli mobil, membangun rumah dan lokasi usaha. Ia berharap usahanya bisa diteruskan anaknya kelak.
”Saya mulai terapkan pemahaman supaya anak tidak terpaku menjadi pegawai. Menjadi wiraswasta asal ulet dan rajin, hasilnya jauh lebih menguntungkan,” katanya.
Sikap dan pandangan Isnadi yang pantas diikuti banyak anak muda lainnya di negeri ini. Menjadi wirausaha pun bisa lebih menguntungkan dan dapat memberikan lapangan kerja bagi banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar